Friday, March 10, 2017

Balada cinta pertama bernama Ramona

Toko buku dan toko arloji mengapit sebuah cafe kecil di sudut kota berwarna dinding burnt sienna. Castle Street Cafe namanya. Berpintu kaca dengan tanda open tergantung di sisi dalamnya. Menandakan cafe tersebut sedang buka. Sedangkan pot yang dihiasi bunga alamanda merah muda berjejer di halaman sempit bagian depan. Ketika pintu dibuka, pelayan cafe merangkap barista dengan kemeja biru tua siap menyambut pelanggannya.
Hari itu adalah hari yang biasa, sebuah hari Selasa pada bulan tua, Oktober tepatnya. Suhu udara terasa beruap dan cuaca tampak mendung. Sebentar lagi hujan akan turun sepertinya. Suara lalu lalang kendaraan terlalu mengganggu telinga orang-orang yang melintas di pedestrian. Maklum cafe ini tepat di pinggir jalan. Belum lagi waktu menunjukkan sudah saatnya orang-orang kembali ke peraduan. Tuhan benar-benar menciptakan keramaian pada sebuah petang.

Benar saja, tidak lama waktu berselang turunlah sang hujan. Berlarian orang-orang di pinggir jalan untuk mencari tempat perlindungan, sedangkan bunga alamanda merah muda yang pasrah saja setiap kelopaknya dibasahi percikan hujan. Sesaat setelah itu terlihatlah seorang pria berkacamata yang berlari dari ujung jalan. Langsung membuka pintu cafe untuk menyelamatkan tubuhnya dari kebasahan.

Setelah menapak satu langkah dari pintu masuk, berdirilah pria tersebut. Tangan kanannya meraih kacamata dari wajahnya dan diusap dengan sapu tangan putih yang diambil dari saku celana. Sementara membersihkan kacamatanya yang tadinya basah, menolehlah ia kepada pelayan di sebelah kirinya. "Cappucino hangat ya," begitu katanya. Dengan sedikit anggukan, pelayan langsung mengerjakan minuman yang dipesan dengan cekatan.

Melanjutkan langkah, mata nanar si pria menyisir ke segala arah untuk mencari posisi duduk yang nyaman. Terhentilah langkahnya pada sebuah meja di sudut ruangan. Berposisi di pinggir kaca yang dapat menembuskan pandangan ke arah luar bangunan. Diletakkan saja di atas meja, tas satchel yang sedari tadi dibawanya. Sementara jaket hoodie hitam yang baru dilepasnya digantung pada sandaran kursi yang bersebelahan dengan posisi tempat duduknya.

Setelah duduk dengan tangan terlipat dan kaki yang diluruskan, matanya sejenak memandang ke arah badan jalan. Menanti berhentinya hujan karena hasratnya begitu ingin untuk pulang. Terasa sangat lelah dia dengan sibuknya pekerjaan. Belum lagi desain rumah salah satu kerabat dekatnya tidak kunjung terselesaikan. Padahal dia sudah berjanji pada akhir Oktober ini rancangannya akan diberikan. Dapat dipastikan niat arsitek muda ini untuk melanjutkan pekerjaan sepertinya akan kandas apabila dia telat pulang.

Hadirnya pelayan yang membawa minuman membuyarkan lamunan. Yang sedari tadi matanya tidak berhenti menatap luar jendela kini berpindah ke pelayan dan secangkir cappucino-nya. "Silahkan Tuan," kata si pelayan. Pria ini hanya membalasnya dengan senyuman. Kegundahan akan pekerjaan dan hujan sepertinya belum bisa lepas dari pikirannya yang tak karuan.

Disentuhlah tangkai cangkir keramik cappucino itu dengan kedua ujung jari. Diangkat dan sedikit ditiup agar tidak terlalu panas di kerongkongan. Ketika cangkir cappucino menyentuh bibir si pria, seketika pandangannya menjadi tegang. Buyar semua apa yang sedari tadi dia pikirkan. Bukan, bukan karena rasa cappucino-nya yang berbeda. Melainkan dia melihat sosok wanita yang tidak asing baginya. Mencoba membenarkan apa yang dia lihat, difokuskan lagi pandangannya ke meja yang berjarak lima langkah dari tempat duduknya. Hingga akhirnya yakinlah dia. Bahwa wanita tersebut ternyata memang cinta pertamanya. Cinta pertama yang telah lama hilang tetapi masih tersimpan jelas dalam ingatannya. Ramona namanya.

Seketika pria ini teringat lagi akhir percakapan mereka enam tahun silam. Sebuah percakapan yang berujung dengan berakhirnya hubungan yang panjang. Bukan percakapan langsung secara empat mata, melainkan percakapan yang dihubungkan melalui pesan singkat saja. Pesan-pesan singkat yang mampu mengakhiri hubungan yang terjalin selama empat tahun lamanya, tetapi tentu saja tidak sesederhana itu kedengarannya. Masih terekam jelas dalam ingatannya, seperti apa isi percakapan mereka.

Ramona: Kemana saja? Seharian aku menunggu kabarmu.
Pria berkacamata: Aku baru saja pulang dari kampus. Bukannya tidak ada kabarku, hanya terlalu sibuk sampai lupa kugunakan handphone-ku. Lagian juga tidak ada yang dapat aku kabarkan tentang keseharianku ini padamu.
Ramona: Kalau memang ada niatmu untuk menyapaku, sebenarnya banyak yang bisa jadi bahan ceritamu. Ceritakan ke aku mengenai keadaan kampusmu, atau tentang teman-teman barumu, bisa juga tentang perasaanmu yang jauh dari aku. Sekedar basa-basi buat aku yang seharian ini menunggu hadirmu. Hanya itu saja pun sudah cukup bagiku. Namun tak kunjung hadir namamu pada layar handphone-ku. Makanya tak tahan rasanya untuk bertanya dimana kiranya dirimu.
Pria berkacamata: Tapi bukankah semua itu sudah setiap hari aku ceritakan kepadamu. Kampusku yang selalu tenang, teman-teman baruku yang begitu menyenangkan, dan perasaanku yang jauh darimu menjadi sebuah beban. Hari ke hari semua sama, tak ada yang berbeda. Aku takut cerita ini akan membosankan, makanya aku kehilangan bahan yang menarik untuk diceritakan.
Ramona: Bukan ceritanya yang akan membosankan, hanya saja memang kamu yang sudah bosan menceritakan. Sesungguhnya sudah sejak lama aku rasakan sikapmu padaku terjadi perubahan, hanya saja tidak pernah aku ungkapkan.
Pria berkacamata: Aku tidak berubah maupun bosan. Bukan kah kamu tahu bahwa aku ini bukan orang yang banyak bercerita hal-hal yang bersifat keseharian. Aku ini cenderung menjadi orang yang mendengarkan. Bedanya dulu aku selalu ada didekatmu, bahkan hampir setiap hari kita bertemu. Tanpa perlu aku ceritakan kepadamu, kamu sudah tahu keseharianku. Sudahlah, tidak perlu disimpan gundahmu itu, bila memang ada yang penting menurutku, pastilah sudah datang kabarku kepadamu.
Ramona: Lantas bagaimana dengan aku yang lelah menunggu kabarmu? Apakah aku tidak menjadi sesuatu yang penting bagimu? Sepertinya jarak ini memang sudah membuat aku menjadi tidak ada dalam hidupmu.
Pria berkacamata: Lantas aku bisa apa? Aku memang kalah dengan jarak kita. Sehingga yang menjadi jauh bukan hanya raga saja, tetapi rasanya hati juga. Tidak melihatmu disekelilingku seperti biasanya membuat aku sibuk dengan kesendirianku. Hingga akhirnya perlahan aku lupa bahwa ada kamu yang menungguku.
Ramona: Kalau sudah tiada lagi pedulimu padaku, apalah guna aku menunggu kabar darimu setiap waktu. Seandainya dari dulu kamu katakan padaku, mungkin hari-hariku tidak akan dipenuhi rasa penasaran terhadapmu. Mengapa tidak kamu tinggalkan saja aku? Bukankah sudah cukup alasanmu untuk memutuskanku.
Pria berkacamata: Seandainya saja ada sedikit rasa sabarmu untuk tidak memancingku, mungkin kata sejahat itu tidak terucap dari mulutku. Sekarang memperbaiki kesalahanku pun sudah terlalu terlambat bagiku. Hatimu sudah sangat terluka karena sifatku. Baiknya hentikan saja kamu menunggu. Karena untuk sementara tak kan ada lagi aku dalam hidupmu. Aku akan meneruskan jalanku dan kuharap kamu lanjutkanlah jalanmu. Bila memang sudah saatnya kita bertemu, tak akan malu aku memintamu kembali kepadaku. Karena belum ada mimpiku untuk meminang wanita selain kamu. Namun bila bukan aku yang menjadi labuan hatimu, aku ikhlaskan kebahagiaanmu tanpa hadirku.
Ramona: Aku pun tidak mungkin terus menunggu pria yang tidak memiliki pendirian sepertimu. Jangan salahkan aku bila nanti gaun pengantinku tidak kupakai untuk bersanding denganmu. Aku harap tidak timbul penyesalanmu karena tidak mampu menahanku. Selamat tinggal buat kamu yang telah menyia-nyiakan hatiku.

Semenjak malam itu, tidak pernah lagi ada komunikasi diantara mereka. Rasa gengsi dan sakit hati sudah lebih besar daripada kerinduan yang mereka rasa. Bahkan sudah dikeraskan hatinya untuk menghapus segala jalur komunikasi yang ada. Agar bisa membuat mereka saling lupa. Tetapi hal yang tidak dapat dipungkiri adalah si pria tidak pernah bisa melupakan Ramona. Apa yang dikatakannya lewat pesan malam itu hanya dibumbui oleh ketidakdewasaannya saja. Tidak pernah sekalipun si pria memiliki atau mencari hubungan yang baru selain Ramona. Hingga akhirnya dia lupa dengan kesendiriannya karena segala rutinitas dan kesibukan hari-harinya.

Hari ini, tepat di umur 30 tahun dalam hidupnya dia dikejutkan dengan hadirnya sosok Ramona tepat dihadapan matanya. Bahkan hujan yang sudah berhenti sedari tadi tidak dihiraukannya. Hilang sudah hasratnya untuk segera pulang. Kepalanya seperti memutar kembali setiap kenangan yang terjadi antara dia dan Ramona. Selain jarak yang memisahkan mereka, sebenarnya tidak ada yang kurang dari sosok Ramona. Selain baik dan juga cantik, Ramona adalah sosok yang cerdas dan pengertian. Selain itu fisiknya yang tinggi, berambut panjang dan berkulit putih sudah sangat sesuai dengan tipe ideal yang diharapkan si pria. Hanya ketakutan si pria terhadap komitmen dan tidak ingin menahan Ramona dalam genggamannya yang membuat mereka terpisah. Dapat dipahami saat itu umurnya sudah matang dan dia juga belum bekerja karena sedang melanjutkan studi S2-nya. Tidak ada yang dapat dijadikan modal untuk mempertahankan Ramona agar tetap berada disisinya.

Si pria teringat kembali dengan perkataannya lewat pesan singkat pada malam itu. "Bila memang sudah saatnya kita bertemu, tak akan malu aku memintamu kembali kepadaku." Maka setelah terkumpul segala keberaniannya, dilangkahkanlah kakinya menuju Ramona. Entah mengapa lima langkah ini merupakan lima langkah terjauh yang pernah dirasakan seumur hidupnya. Hingga akhirnya berdirilah ia tepat disamping Ramona yang saat itu sedang sibuk dengan handphone dan aplikasi chatting-nya. Dengan suara lirih yang dipaksa untuk keluar dari bibirnya, "Maaf, Ramona ya?" begitu sapanya. Ramona pun terkejut, terlihat dari handphone yang tiba-tiba terlepas dari genggaman tangannya dan sedikit terhempas ke atas meja. Seakan tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya, "Sandi?!" hanya itu yang terlontar dari bibir Ramona.

Setelah itu mereka bertukar sapa dengan canggungnya.
"Bagaimana kabarmu? Sepertinya masih saja secantik dahulu, "kata Sandi si pria berkacamata.
Mencoba menenangkan rasa terkejutnya, Ramona menjawab, "Alhamdulillah baik dan tetap cantik seperti kelihatannya, kalau kamu?" tanya yang diikuti senyum termanisnya.
"Aku juga baik, tetapi tidak terlalu tampan." Katanya sedikit bercanda.
"Boleh aku duduk?"
"Silahkan."
Sandi pun menarik kursi yang berhadapan dengan Ramona seraya duduk dan melanjutkan percakapan.
"Lama tak kudapat kabarmu, ternyata kita ada di kota yang sama."
"Aku hanya sebentar, sekedar untuk liburan dan jalan-jalan saja. Aku juga tidak tahu kalau kamu ada disini, kebetuan sekali kita bertemu di dunia yang luas dan cafe sekecil ini"
"Aku bekerja di dekat sini dan tempat tinggalku hanya beberapa blok dari cafe ini. Tidak ada yang namanya kebetulan, sepertinya Tuhan sedang bercanda dengan hujan dan kita berdua."
"Kata-katamu masih saja sok puitis seperti dahulu. Tak bisa lagi aku termakan gombalanmu. Aku sudah tahu kalau kamu itu hanya pujangga palsu." Dengan candaan ini Ramona mulai mendapatkan lagi rasa terbiasa  dengan adanya Sandi disisinya yang sebelumnya sudah lama terlupa.
"Bukankah pujangga palsu ini yang sebelumnya pernah menghancurkan hatimu?" Perkataan Sandi ini memecahkan tawa dari mulut mereka berdua.
"Ternyata kamu memang Sandi yang aku kenal. Kamu tahu? Aku belum bisa memaafkanmu yang meninggalkan aku dengan cara seperti itu."
"Apakah waktu belum bisa menyembuhkan luka di hatimu? Kalau belum, terimalah permintaan maafku."
"Iya aku maafkan. Setelah membuat aku patah hati, ada berapa wanita lagi yang kamu patahkan hatinya hah?"
"Tidak banyak, mungkin ada sekitar 23 Ramona lagi diluar sana yang menyumpahiku untuk menjadi perjaka tua karena sudah menyakiti hati mereka."
"Dasaaar!!" jawab Ramona yang paham kalau Sandi sedang bercanda.
Sesaat Sandi sangat menikmati kehadiran Ramona lagi dalam hidupnya. "Oh iya, siapa yang menemanimu kesini? Kalau memang jalan-jalan tidak mungkin kamu sendiri." Tanya Sandi penasaran.
Wajah Ramona mendadak serius, "Sebenarnya aku..."

Tidak sempat Ramona mengakhiri perkataannya, seseorang hadir dan baru saja masuk melalui pintu kaca. Berkemeja santai dengan setangkai bunga alamanda merah muda ditangannya. Tentu saja bunga itu untuk Ramona. Dengan senyum yang terlontar dari sang pria, Ramona pun membalasnya. Cincin yang melingkar di jari manis Ramona yang sedari tadi luput dari pandangannya akhirnya terlihat juga. Ada rasa terkejut yang ditutup-tutupi dengan senyum palsu diwajahnya. Sandi seperti hilang kata-kata. "Aku kesini dengan dia, Suamiku." begitu kata Ramona.

Image Source
Share:

4 comments:

  1. cerita yang sangat menarik.
    kamu bisa mengambarkan semua adegannya dengan plot yang menarik.
    semoga ada lagi sambungan cerita ramona dan sandi.
    atau flashback hubungan mereka.

    ReplyDelete
  2. Mantap bg 👍👍,semoga bisa dibukukan ya bg, jd ingat punya blog jg

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you Ema, mudah2an ada niat bua nulis lagi yaa 😂

      Delete