Showing posts with label Catatan Kuliah. Show all posts
Showing posts with label Catatan Kuliah. Show all posts

Friday, July 27, 2018

PEMBAHASAN MENDASAR MENGENAI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (SUSTAINABLE DEVELOPMENT)

Pengantar

Tuntutan penerapan kebijakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sudah menjadi perhatian dunia dan setiap negara semenjak lebih dari dua dekade lalu. Peristiwa-peristiwa yang mendasari dasar kebijakan pembangunan berkelanjutan ini di antaranya Brundtland Report (World Commission on Environment and Development, 1987), Earth Summit pada tahun 1992 dan World Summit pada tahun 2002. Lantas apakah sebenarnya yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan tersebut?
Berikut adalah pembahasan singkat mengenai pembangunan berkelanjutan yang diangkat dari buku A Handbook of Sustainable Development yang dirangkum oleh Giles Atkinson, Simon Dietz dan Neumayer.

Sustainable Development: Apa dan Bagaimana Mencapainya

Berdasarkan Brundtland Report (WCED, 1987), sustainable development atau pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Banyak pihak yang telah mengadopsi definisi ini dan memberikan penekanan-penekanan lain yang dikira perlu untuk ditambahkan namun tetap memiliki tujuan yang sama dengan apa yang diharapkan WCED 1987. Semua pengertian pembangunan berkelanjutan yang telah dikembangkan berakhir pada satu perhatian umum mengenai cara bagaimana hasil-hasil dari pembangunan dapat dibagikan antar generasi di masa yang akan datang.
Norton menjelaskan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah suatu usaha antroposentris mengenai kesejahteraan manusia dan bagaimana mempertahankan kesejahteraan itu dari waktu ke waktu. Dengan demikian, prinsip dasar pembangunan berkelanjutan merupakan tanggung jawab antar generasi mengenai praktik pengelolaan sumber daya agar apa yang dilakukan oleh generasi saat ini tidak berdampak buruk pada generasi mendatang. Menurut Giovanni Ruta dan Kirk Hamilton, pembangunan berkelanjutan mengharuskan kita untuk berusaha memahami sumber daya sebagai modal yang tersedia dari berbagai sumber persediaan kekayaan, termasuk sumber daya manusia (seperti orang-orang yang cerdas, sehat dan baik), sumber daya alam (seperti sumber daya energi, tanah dan makhluk hidup) dan sumber daya lingkungan (seperti udara dan air bersih).

Populasi dan Perubahan Teknologi

Di setiap negara, kebijakan pembangunan yang diterapkan harus mempertahankan peluang kesejahteraan hidup manusia pada populasi yang lebih besar di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan bertambahnya jumlah penduduk akan memakan sumber daya alam yang besar sehingga dapat mengancam keberlanjutan itu sendiri. Sesuai dengan pernyataan Geoffrey Mcnicoll yang menganggap bahwa ada akar hubungan mendasar antara penduduk dan pembangunan, terutama mengenai masalah seberapa besar jumlah populasi manusia yang hidup di dunia dapat ditopang ke depannya sedangkan sumber daya alam yang dibutuhkan akan terus berkurang. Dengan kata lain, kebijakan pembangunan yang buruk terhadap kependudukan suatu saat pasti akan memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan.
Perkembangan teknologi saat ini merupakan salah satu konsekuensi pertumbuhan penduduk sehingga perlu adanya inovasi dan penemuan baru terkait keberlanjutan lingkungan. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah membangun kebijakan ke arah Research and Development (R&D) dalam memenuhi berbagai kebutuhan, mendorong para peneliti untuk memahami lebih lanjut dalam proses penemuan ilmu pengetahuan terbaru dan bagaimana suatu inovasi dapat diterapkan di dalam proses produksi dan konsumsi. Oleh karena itu, di dalam pembangunan berkelanjutan ditekankan untuk mengembangkan teknologi jangka panjang dan ramah lingkungan yang sering disebut dengan inovasi teknologi hijau (green technology innovation) demi menghemat penggunaan materi dan energi yang langsung diambil dari sumber daya alam yang terbatas.

Keadilan antar Generasi dan Dimensi Sosial

Aspek lain yang juga perlu dipertimbangkan di dalam pembangunan berkelanjutan adalah keadilan antar generasi seperti distribusi pendapatan, tanggung jawab lingkungan dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan generasi saat ini. Brundtland menegaskan bahwa meskipun terdapat perhatian lebih kepada keberlangsungan hidup generasi yang akan datang, kepedulian terhadap kemiskinan dan masalah-masalah yang dialami oleh generasi sekarang tidak dapat diabaikan begitu saja. Keadilan antar generasi harus dijalankan sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan, membuat aturan yang lebih spesifik agar tidak hanya mencegah tindakan-tindakan penting pada masa sekarang demi menjaga masa depan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masa sekarang melalui tindakan-tindakan yang diperlukan.
Geoffrey Heal dan Bengt Kriström berpendapat bahwa kebijakan pembagian lingkungan antara masa ini dan masa depan merupakan salah satu aspek analisis di dalam pembangunan berkelanjutan. Menurut mereka pembagian lingkungan tersebut dapat dijadikan kerangka kerja dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan lingkungan hidup serta memastikan bahwa kebijakan-kebijakan pembangunan tersebut dapat diterima secara sosial dan menjadi jawaban atas hambatan-hambatan yang berpotensi memberikan dampak buruk bagi lingkungan.
Masalah keadilan lingkungan juga terlihat dari kesenjangan internasional diukur dari bagaimana beban lingkungan didistribusikan secara global. Dalam hal ini, Adger dan Alexandra Winkels menghubungkan pembangunan berkelanjutan dengan kesenjangan kualitas hidup manusia dan kerentanan manusia terhadap lingkungan. Kerentanan yang dimaksud adalah keadaan manusia yang hidup di dalam kemiskinan kronis dan tidak mampu mencapai sumber daya yang dibutuhkan demi meningkatkan kualitas hidup mereka. Untuk itu Adger dan Wingkels berpendapat bahwa analisis kerentanan ini merupakan suatu cara yang bagus untuk digunakan di dalam pembangunan dan meminimalisir tingkat kemiskinan di dunia. Hal ini lebih lanjut dapat dikembangkan sebagai pedoman dalam mendistribusi sumber daya bagi masyarakat dan membantu mereka yang kurang beruntung untuk menemukan sumber mata pencarian yang berkelanjutan.

Pertumbuhan, Konsumsi dan Sumber Daya Alam

Ada hubungan negatif antara limpahan sumber daya alam dengan pertumbuhan ekonomi yang disebut dengan hipotesis kutukan sumber daya alam (natural resource curse hypothesis) atau paradox dengan kondisi kecukupan. Hal ini dianggap paradox karena suatu negara yang dianggap memiliki sumber daya alam yang melimpah seharusnya memiliki keuntungan perekonomian jangka panjang yang berbeda dengan negara yang memiliki sumber daya alam yang sedikit. Richard Auty menjelaskan bahwa banyak negara yang tidak beruntung diharuskan untuk berusaha lebih besar demi menghindari kutukan ini, terutama dari segi politik ekonomi negara yang kaya akan sumber daya alam. Kegagalan mereka lepas dari kutukan ini dapat terlihat dari penetapan kebijakan yang buruk terhadap investor sehingga hanya mendapatkan harga sewa sumber daya yang murah.
Hal lain yang penting untuk diperhatikan di dalam pembahasan ekonomi, sosial dan lingkungan di negara berkembang adalah proses perubahan struktural dimana menurunnya perekonomian sektor primer (pedesaan) karena dikorbankan untuk menaikkan sektor barang dan jasa (kota). Ramon Lopez menggambarkan perbedaan antara perubahan struktural dengan keuntungan positif dimana mengurangi tekanan pada aset alam dan menambah kualitas hidup sehingga perubahan struktural memiliki keuntungan negatif pada akhirnya hanya merubah desa miskin menjadi kota miskin. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan struktural yang terarah untuk membina keberlanjutan di negara-negara berkembang.
Meningkatkan konsumsi merupakan salah satu kebijakan pembangunan yang sangat penting bagi sebuah negara yang tingkat kemiskinannya tersebar luas. Akan tetapi, bertambahnya tingkat konsumsi terkadang memberi dampak buruk terhadap lingkungan seperti emisi karbon dioksida. Oleh karena itu, perlu adanya studi lanjutan yang membahas bagaimana suatu konsumsi dapat diperbaiki menjadi lebih berkelanjutan dengan menggunakan produk-produk yang ramah lingkungan. Menurut Tim Jackson, konsekuensi dari besarnya konsumsi pada pembangunan berkelanjutan tidak terbatas pada dampak terhadap lingkungan, melainkan juga memiliki dampak terhadap keadilan sosial dan kesejahteraan yang lebih luas.

Kemajuan dalam Mengukur Pembangunan Berkelanjutan

Konsumsi, pertumbuhan ekonomi dan dampak buruk bagi lingkungan di dalam pembangunan berkelanjutan merupakan masalah yang kompleks dan sering bertentangan, namun pada intinya adalah bagaimana kita menemukan jalur yang tepat dalam menyikapinya.  Jika komitmen pembuat kebijakan dalam pembangunan berkelanjutan dinilai dari realitas kinerjanya, maka harus ada cara untuk mengukur dan memantau progresnya.  Secara garis besar terdapat dua cara untuk mengukurnya. Pertama dengan cara “Green National Accounting” atau “Resourch and Environmental Accounting”, sebuah pendekatan mengenai kesesuaian atau perhitungan ekonomi nasional yang ada untuk melihat seberapa besar penipisan sumber daya dan penurunan lingkungannya. Kedua, dengan pendekatan pembentukan suatu indikator lingkungan fisik. Secara umum kedua pendekatan tersebut meyakini bahwa suatu pembangunan tidak akan berkelanjutan jika pembuat kebijakan bergantung pada aturan yang sempit dengan indikator pengelolaan ekonomi yang hanya berjangka pendek.
Selain Green National Accounting, terdapat beragam indikator lain untuk mengukur kesejahteraan ekonomi yang berkelanjutan di suatu negara seperti Index of Sustainable Economic Welfare (ISEW) dan Genuine Progress Indicator (GPI) . Clive Hamilton mencatat bahwa penelitian ISEW menemukan bahwa ukuran kesejahteraan meningkat pada tahun 1950-an dan terus menurun di sekitar tahun 1970-an sampai dengan 1980-an. Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan per kapita awalnya naik namun menurun dalam kurun waktu beberapa tahun. Diharapkan pembuat kebijakan dapat memahami indikator-indikator tersebut dan di kemudian hari terus dikembangkan untuk menemukan indikator tunggal yang lebih akurat dan spesifik dalam mengukur kesejahteraan pembangunan berkelanjutan. 

Pembangunan Berkelanjutan pada Skala yang Berbeda

Setiap kebijakan pembangunan daerah, kabupaten/kota, sektor ekonomi dan perusahaan banyak menggunakan istilah berkelanjutan karena sudah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Ketika pembangunan berkelanjutan menjadi suatu tujuan umum, perlu adanya landasan untuk mengarahkan setiap rumah tangga dan perusahaan agar ikut berkontribusi di dalam prosesnya.
Keberlanjutan lokal dan perkotaan tidak hanya menjadi suatu kontribusi pada tujuan sosial secara luas, melainkan juga rencana di dalam kota itu sendiri. Yvonne Rydin berpendapat bahwa masalah lingkungan secara global pada dasarnya berakar dari tindakan dan perilaku masyarakat lokal dalam skala yang sangat kecil. Untuk itu, dalam mengatasi permasalahan lingkungan ini merupakan tanggung jawab bersama pada tiap level masyarakat baik lokal maupun global. Ketika kerjasama internasional pada tingkat global merumuskan masalah-masalah besar seperti perubahan iklim, ada faktor penduduk lokal yang patut untuk diperhitungkan dan perlu diperhatikan. Oleh karena itu pembuat kebijakan di tingkat lokal tentunya akan memberikan gambaran yang lebih baik terhadap masalah lingkungan dibandingkan pengambil keputusan pada tingkat yang lebih tinggi. Maka partisipasi masyarakat lokal perlu diikut sertakan dalam mengambil keputusan terhadap permasalahan lingkungan.

Dimensi Internasional

Faktor penting yang tidak dapat diabaikan dari suatu sumber daya alam adalah bagaimana aset tersebut tidak hanya untuk dibagikan antar generasi, tetapi juga harus dibagi melewati batas nasional. Sumber daya lingkungan dengan akses terbuka dan tidak ada pemiliknya seperti atmosfer dan lautan serta sumber daya yang dimiliki oleh suatu negara yang berdaulat seperti hutan, flora dan fauna harus tetap memberikan layanan ekologis bagi dunia melintasi perbatasan negara yang mengharuskan adanya kerjasama internasional antar negara. Kondisi ini memerlukan pertimbangan keseimbangan distributif untuk membagi keuntungan dari kerjasama antar pihak. Tantangan utamanya adalah untuk menyesuaikan arah persepsi dan insentif sehingga kerjasama dengan kesepakatan bersama dapat dicapai dalam menghadapi persaingan kepentingan domestik dan internasional.

Penutup

Hampir tiga dekade setelah diterbitkannya Brundtland Report (WCED, 1987) yang mengawali perdebatan mengenai pembangunan berkelanjutan, tentang bagaimana mengukur keberhasilannya, bagaimana untuk menemukan penerapan dalam jangka waktu yang panjang, apa yang telah dicapai dan apa yang tantangan terbentang di depan. Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak lagi yang perlu untuk dipelajari dan diteliti tentang pembangunan berkelanjutan menjadi suatu bagian dari bagian kehidupan yang perlu untuk terus dikembangkan penerapannya.
Share:

Thursday, July 26, 2018

TEORI DEPENDENSI BARU


Setelah membahas teori dependensi klasik dan bagaimana hasil kajian teori tersebut terhadap pembangunan negara-negara dunia ketiga, berikut adalah teori dependensi baru yang menjadi jawaban terhadap kritik-kritik yang menimpa teori dependensi klasik sebelumnya. Beberapa ahli yang menyumbangkan pemikiran mereka di dalam teori dependensi baru di antaranya adalah Fernando Henrique Cardoso, Thomas B. Gold, Hagen Koo dan Mohtar Mas'oed. Pembahasan ini juga merupakan lanjutan isi buku Perubahan Sosial dan Pembangunan yang ditulis oleh Suwarsono dan Alvin Y. So.

Tanggapan Teori Dependensi: Rumusan Cardoso

Fernando Henrique Cardoso menjelaskan bahwa terdapat tiga rumusan utama di dalam teori dependensi. Pertama, metode kajian yang digunakan di dalam teori dependensi untuk menganalisis masalah negara-negara dunia ketiga merupakan metode historis struktural. Kemudian, penyebab terjadinya ketergantungan atau dependensi menurut Cardoso adalah faktor internal yang dilihat dari aspek sosial-politik seperti perjuangan kelas dan konflik kelompok serta pergerakan politik untuk menginternalisasi kepentingan pihak luar. Terakhir, situasi ketergantungan ini memungkinkan berbagai kemungkinan akhir yang terbuka.
Cardoso juga menjelaskan mengenai teori pembangunan bergantung, yaitu posisi suatu negara dunia ketiga dipaksa untuk menggunakan teknologi impor yang padat modal sehingga terdapat biaya ekonomis dan pengorbanan sosial di dalamnya. Istilah ini menggambarkan kondisi yang bertolak belakang dari teori modernisasi klasik yang memfokuskan diri pada modernisasi dan pembangunan serta teori dependensi klasik yang melihat hubungan yang terjadi antara penindasan negara sentral terhadap negara pinggiran. Menurutnya, kekuatan-kekuatan politik yang mewujudkan pembangunan bergantung yaitu munculnya negara militer, menghilangkan peran fraksi kelas menengah ke atas lokal oleh militer dan menjadikan mereka partner usaha yang lebih rendah posisi tawarannya.

Thomas B. Gold: Pembangunan dan Ketergantungan Dinamis di Taiwan

Gold menggunakan konsep dependensi untuk menguji dan menjelaskan pertumbuhan ekonomi serta kestabilan politik di Taiwan. Dia menjelaskan bahwa teori dependensi harus selalu terikat dengan karakteristik geografis suatu wilayah tertentu. Ada tiga tahap fase ketergantungan Taiwan yang dijelaskan oleh Gold, yaitu fase ketergantungan klasik, fase pembangunan bergantung dan fase ketergantungan dinamis yang lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut:
Fase ketergantungan klasik, pada tahun 1985 Taiwan merupakan jajahan negara Jepang yang pertama. Jepang menumbuhkan ketergantungan struktural ekonomi Taiwan melalui arahan untuk memfokuskan diri pada usaha produksi dua barang primer beras dan gula yang sebagian besar diekspor ke pengusaha Jepang. Jepang memegang hak monopoli produksi dan sektor keuangan serta dengan sengaja menciptakan aturan untuk menyingkirkan peran penduduk lokal pada kedua sektor ekonomi tersebut.
Fase pembangunan bergantung, setelah Taiwan merdeka dan merupakan sekutu Amerika Serikat, mereka mendapatkan bantuan ekonomi maupun militer untuk mencapai stabilitas ekonomi dan politik. Di sekitar tahun 1960-an Taiwan menjadi negara birokratik otoriter (NBO). Menurut O’Donnell, dikarenakan bantuan yang diterima dari Amerika menyebabkan Taiwan mengikuti idiologi pembangunan Amerika Serikat dan memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk terlibat pada pembangunan industri yang pokok. Akhirnya Taiwan berubah menjadi negara yang berorientasi pada industri substitusi impor.
Fase Ketergantungan Dinamis, dalam keadaan kritis politik dan ekonomi para manajer Taiwan bersikap untuk memanfaatkan situasi ketergantungan dinamis yang dihadapinya. Mereka menilai kebutuhan dan kemampuan masyarakat menghubungkan mereka dengan sistem ekonomi dunia dengan cara tertentu sesuai yang mereka persiapkan. Strategi yang dirumuskan ini dikenal dengan sebutan pendalaman industrialisasi (deepening industralization), yaitu kebijaksanaan yang secara horizontal berusaha melakukan perbaikan semua aspek program industrialisasi untuk mencapai efisiensi yang lebih tinggi, sementara di sisi lain dilakukan integrasi industri secara vertikal.

Hagen Koo: Interaksi antara sistem dunia, negara dan kelas di Korea

Di Korea Selatan Koo melihat pembangunan dalam konteks interaksi secara keberlanjutan antara negara, kelas sosial dan sistem dunia serta bagaimana pengaruh dari tiga unsur tersebut secara komulatif dan kebersamaan. Integrasi Korea Selatan dengan sistem dunia dimulai dari integrasi politik dan diikuti dengan integrasi ekonomi pada tahun 1950-an. Masuk ke dalam sistem ekonomi kapitalis dunia merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan Korea Selatan.
Menurut Koo, pengaruh sistem dunia pada perekonomian Korea Selatan timbul melalui interaksi setiap variabel internal, yaitu melalui struktur kelas sosial dan negara. Koo berpendapat bahwa kolonialisme Jepang mempunyai pengaruh yang besar terhadap struktur kelas di Korea Selatan, namun tidak menunjuk pada variabel tunggal, akan tetapi dari interaksi yang dinamis dan terus menerus dari sistem dunia, struktur kelas dan negara yang bertanggung jawab pada keberhasilan tersebut.

Mohtar Mas'oed: Negara Birokrasi Militer di Indonesia

Adapun ciri-ciri negara birokrasi militer (NBO) menurut Mohtar Mas'oed terlihat dari beberapa karakteristik. Pertama, posisi puncak pemerintahan biasanya dipegang oleh orang-orang yang sebelumnya berhasil berkuasa di dalam organisasi birokrat, seperti organisasi militer, pemerintah dan perusahaan swasta. Kedua, akan selalu ada pembatasan partisipasi politik yang ketat (political exclusion) di dalam negara ini. Ketiga, juga terdapat pembatasan partisipasi ekonomi (economic exclusion) yang ketat. Terakhir, negara ini mengembangkan kebijakan depolitisasi dan demobilisasi massa.
Menurut O’Donnell, negara birokrasi militer lahir sebagai tanggapan atas krisis ekonomi dan politik dari model pembangunan yang tergantung di Amerika Latin sesudah perang dunia kedua. Hal ini timbul karena kebijakan ekspansi horizontal telah mencapai batas pertumbuhannya, sementara itu untuk mengatasi kemacetan ini elit militer dan birokrat berusaha merumuskan kebijakan ekonomi baru yang disebut dengan pendalaman industrialisasi (deepening industralization).
Dalam kaitannya dengan Indonesia sendiri, Mas'oed merumuskan konsep negara birokrasi militer yang timbul disebabkan oleh beberapa aspek, yaitu lahir dari warisan krisis ekonomi dan politik yang terjadi pada tahun 1960-an, koalisi internal orde baru yang memaksa untuk segera dilakukan restrukturisasi ekonomi secara radikal, serta orientasi ekonomi ke luar yang dirumuskan oleh orde baru mendesak pemerintah untuk membentuk negara birokrasi militer.
Pada masa itu Indonesia masih dalam pemulihan pasca terjadinya kehancuran sehingga pendalaman industrialisasi dan kebijakan integrasi vertikal belum terjadi. Oleh karena itu, Mas'oed menyimpulkan bahwa kasus lahirnya negara birokrasi militer (NBO) di Indonesia disebabkan oleh faktor krisis politik dengan karakteristik seperti pemerintahan yang berada di bawah kendali militer yang bekerjasama dengan teknokrat sipil secara organisatoris, modal besar domestik swasta yang memiliki hubungan khusus dengan negara dan modal internasional yang sangat menentukan peran ekonomis. Selain itu, hampir seluruh bentuk kebijakan mulai dari perencanaan sampai evaluasi sepenuhnya berada ditangan birokrat dan teknokrat dan demobilisasi masa dalam bentuk kebijakan yang mengambang, bahkan orde baru tidak segan-segan melakukan tindakan tegas dalam menghadapi penentangnya. Ditambah besarnya peran kantor kepresidenan dan otonomi yang diwujudkan melalui luasnya wewenang kantor sekretariat negara merupakan ciri khusus negara birokrasi militer di Indonesia.

Kekuatan Teori Dependensi Baru

Adapun kesamaan antara teori dependensi klasik dan baru adalah pada pokok perhatiannya yang sama-sama fokus pada permasalahan negara-negara dunia ketiga dengan level analisa secara nasional. Melihat konsep pokok implikasi yang membahas ketergantungan negara-negara pinggiran terhadap negara-negara sentral dan kebijakan-kebijakan ketergantungan yang bertolak belakang dengan konsep pembangunan.
Sementara itu, yang membedakan kedua teori ini adalah metode yang digunakan, teori dependensi klasik menggunakan metode abstrak pada pola umum ketergantungan sedangkan teori dependensi baru cenderung pada historis-struktural pada situasi kongkret ketergantungan tersebut. Apabila teori dependensi klasik menyalahkan faktor eksternal seperti penjajahan dan ketidakseimbangan nilai tukar, teori dependensi baru menyalahkan faktor internal dan konflik kelas yang terjadi di dalam negara. Ciri-ciri politik yang dibahas pada teori dependensi klasik adalah fenomena ekonomis sedangkan yang baru adalah fenomena sosial. Pada pembahasan pembangunan dan ketergantungan teori dependensi klasik menyatakan bahwa antara pembangunan dan ketergantungan adalah sesuatu yang bertolak belakang sehingga menyebabkan keterbelakangan, sementara teori dependensi klasik menyatakan bahwa pembangunan dan ketergantungan itu adalah sesuatu yang dapat berjalan bersama dan saling mendukung.
Share:

Wednesday, July 25, 2018

HASIL KAJIAN TEORI DEPENDENSI KLASIK

Nah, setelah sedikit memahami mengenai teori dependensi klasik, akan lebih lengkap rasanya apabila kita membahas bagaimana hasil kajian teori ini di dalam perkembangan negara-negara dunia ketiga. Tulisan ini juga merupakan rangkuman yang diambil dari buku Perubahan Sosial dan Pembangunan yang ditulis oleh Suwarsono dan Alvin Y. So. Mereka melakukan kajian terhadap teori dependensi klasik untuk memberikan gambaran mengenai buruknya dampak kolonialisme sehingga mengakibatkan tumbuhnya ketergantungan negara-negara pinggiran terhadap negara-negara maju. Adapun beberapa kajian yang mewakili pemikiran teori dependensi klasik ini di antaranya adalah penelitian Paul Baran mengenai kolonialisme di India, tulisan Martin Hart-Landsberg mengenai imperialisme baru di Asia serta pemikiran Sritua Arief dan Adi Sasono tentang ketergantungan dan keterbelakangan ekonomi di Indonesia yang lebih jelasnya dibahas sebagai berikut.

Paul Baran: Kolonialisme di India

Pada abad ke-18 India merupakan salah satu negara maju di dunia, baik dari segi ekonomi, perdagangan maupun industri. Hadirnya praktik kolonialisme yang dilakukan Inggris menyebabkan mereka menjadi negara yang terbelakang. Proses kemunduran ini terjadi akibat dari kekayaan India yang dirampas melalui pemindahan kekayaan India ke Inggris dan memberlakukan kebijakan de-industrialisasi India. Selain itu, Inggris juga menerapkan kebijakan-kebijakan yang menyebabkan India semakin terpuruk seperti halnya memaksa India untuk menanam dan menghasilkan barang mentah yang dibutuhkan Inggris, dengan kata lain industri India mengabdi sepenuhnya untuk kepentingan Inggris.
Tekanan di bidang ekonomi juga terlihat dari kebijakan inggris untuk menghancurkan sektor agraria negara India, mencegah masyarakat meningkatkan kualitas hidup mereka demi mengikat petani India untuk tetap miskin dan terperangkap dalam keadaan tersebut. Sementara itu, dari segi sosial Inggris membentuk rekayasa sosial yang menyebabkan masyarakat India secara sukarela membantu terwujudnya kepentingan Inggris dan menjadikan ekonomi pedesaan sebagai ekonomi parasit. Untuk mewujudkan dominasi politik, pemerintah Inggris merumuskan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk membuat masyarakat tetap berpendidikan rendah dan terbelakang.
Setelah segala situasi terlaksana sesuai dengan rencana, pemerintah kolonial Inggris secara bertahap menyerahkan sebagian kekuasaan mereka kepada penduduk lokal yang dianggap loyal kepada Inggris dalam menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Kekuasaan yang diberikan kepada pribumi tersebut diharapkan akan memberi dampak keamanan dan kestabilan di setiap desa yang mereka kuasai. Dapat dilihat bahwa secara menyeluruh, politik dan ekonomi India selama masa penjajahan mengalami proses perubahan struktur yang sangat kompleks sehingga pemerintah secara formal tidak dapat menghilangkan pengaruh-pengaruh peninggalan kolonialisme ini. Bahkan setelah kemerdekaan struktur ketergantungan ini masih terlihat pada masyarakat India yang paling utama dari segi bahasa Inggris yang menjadi bahasa kedua masyarakat India.

Martin Hart-Landsberg: Tumbuhnya Imperialisme di Asia Timur

Kebijakan industrialisasi yang memiliki orientasi ekspor (OE) di Korea, Singapura, Taiwan dan Hongkong pada masa itu merupakan bentuk dominasi baru imperialisme yang menyebabkan negara-negara dunia ketiga menjadi negara industri yang sangat tergantung dengan negara-negara maju. Dominasi negara-negara asing pasca PDII tersebut yang menyebabkan pembangunan di negara-negara pinggiran terhambat dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Pertama, lemahnya landasan industri di negara dunia ketiga sehingga terpaksa untuk menggunakan devisa yang lebih besar demi mengimpor barang konsumsi. Kemudian, tingginya kebutuhan devisa tersebut menyebabkan negara berkembang untuk mengandalkan dana dari ekspor barang mentah seperti gula, kopi, karet, rotan dan teh yang mudah terpengaruh oleh perubahan harga. Terakhir, kurangnya kemampuan dalam mengumpulkan devisa menjadikan negara berkembang terjebak di dalam lilitan hutang dan bergantung dengan luar negeri.
Untuk menanggulangi besarnya kebutuhan negara-negara berkembang ini terhadap perolehan devisa melalui aktivitas ekspor produk primer, maka dilakukan strategi industrialisasi impor (ISI) dengan harapan agar negara lepas dari ketergantungan ekspor. Namun, pada pelaksanaannya strategi ini mengalami banyak kendala seperti tidak tersedianya pasar dalam negeri, keterbatasan modal dan teknologi serta terjadinya percepatan impor modal asing dan teknologi sehingga menyebabkan produk dalam negeri kalah bersaing. Sementara itu, arus modal besar yang diikuti besarnya jumlah laba yang dikembalikan ke negara pemilik modal dan teknologi mengakibatkan ketimpangan neraca perdagangan dan berlanjut kepada beban hutang yang besar. Oleh karena itu, strategi ini dinyatakan gagal.
Setelah ISI gagal untuk diterapkan, selanjutnya dirumuskan strategi baru yang disebut dengan industrialisasi orientasi ekspor (IOE). Strategi IOE terletak pada kebijakan subkontrak internasional yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan transnasional dengan upaya untuk menguasai pasar di negara-negara maju melalui kerjasama dengan berbagai perusahaan di negara-negara dunia ketiga. Kebijakan subkontrak internasional ini tumbuh disebabkan oleh adanya pasar yang semakin luas, biaya produksi yang terus meningkat, penemuan-penemuan teknologi terbaru dalam negeri, perolehan laba yang tinggi serta adanya negara-negara yang tepat untuk memegang tanggung jawab usaha subkontrak.
Landsberg berpendapat bahwa IEO merupakan salah satu bentuk dominasi modal internasional baru dan bukan model pembangunan yang tepat untuk diterapkan pada proses pembangunan negara-negara dunia ketiga. Meskipun kenyataannya IEO mendorong tumbuhnya industri dan lapangan kerja di negara-negara berkembang, strategi dianggap tidak akan mampu mendorong terjadinya akumulasi modal dan pembangunan secara mandiri. Selain itu, persoalan ekonomi negara sentral dan tatanan ekonomi kapitalis akan menghambat keberhasilan strategi pembangunan yang berorientasi pada pasar ekstrim dan nantinya akan menyebabkan kemiskinan yang lebih parah pada pekerja dan petani di negara-negara berkembang atau dunia ketiga.

Sritua Arief dan Adi Sasono: Ketergantungan dan Keterbelakangan di Indonesia

Ketergantungan dan keterbelakangan Indonesia ditinjau pada periode penjajahan Kolonial Belanda dan setelah Indonesia memegang kemerdekaan tepatnya pada masa orde baru. Menurut Arief dan Sasono, sistem tanam paksa pada masa penjajahan merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya ketergantungan dan keterbelakangan di Indonesia. Pada masa eksploitasi masyarakat ini telah terjalin aliansi antara pemerintah kolonial Belanda dengan penguasa-penguasa feodal di Indonesia. 
Sementara itu, pembangunan perekonomian pada masa orde baru menurut Arief dan Sasono dapat diamati berdasarkan lima tolok ukur. Pertama, sifat pertumbuhan ekonomi yang memperbesar jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Kedua, penyerapan tenaga kerja yang semakin terhambat karena adanya mekanisasi pada sektor pertanian dan teknologi padat modal pada sektor industri sehingga jumlah pengangguran semakin besar. Ketiga, proses industrialisasi yang memiliki ketergantungan terhadap modal dan energi. Keempat, pembiayaan pembangunan yang bergantung pada modal asing untuk melakukan pembangunan ekonomi dan model industrialisasi. Terakhir, belum tercapainya swasembada pangan hingga akhir tahun 1970-an yang menyebabkan tingginya persentase impor makanan pokok berupa beras. Hal-hal ini yang membuktikan bahwa ketergantungan dan keterbelakangan sedang berlangsung di Indonesia.

Kekuatan Teori Dependensi Klasik

Ketergantungan dan keterbelakangan Indonesia merupakan gambaran khas karakteristik teori dependensi klasik dalam menguji masalah pembangunan negara-negara dunia ketiga. Kekuatan teori dependensi klasik sendiri terlihat dari bagaimana hal ini mampu mengarahkan pola pikir peneliti, perencana kebijakan serta pemangku kebijakan untuk mengikuti tesis-tesis yang diajukan peneliti. Berdasarkan tiga kajian kasus ketergantungan yang berbeda memberikan asumsi yang sama bahwa ketergantungan pembangunan yang terjadi di negara-negara tersebut disebabkan oleh faktor luar yang tidak berada di dalam jangkauan kendali mereka hingga pada akhirnya berakibat pada keterbelakangan pembangunan ekonomi di setiap negara berkembang.

Kritik Terhadap Teori Dependensi Klasik

Kritik-kritik terhadap teori dependensi klasik muncul sejak tahun 1970-an berawal dari tidak puasnya pengkritik terhadap tiga aspek teori dependensi klasik. Pertama, metode pengkajian teori ini hanya memperhatikan masalah-masalah retorika, penjelasan deduktif yang menganggap persoalan ketergantungan di negara-negara dunia ketiga yang dianggap sama dan mengabaikan variasi tingkat nasional. Kedua, pernyataan teori dependensi klasik yang menjadikan faktor eksternal sebagai sumber masalah ditentang oleh penganut paham neo-marxisme, mereka menganggap teori ini mengabaikan dinamika internal seperti kelas sosial dan negara. Terakhir, teori dependensi klasik ini tidak menguraikan upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh negara-negara dunia ketiga terlepas dari masalah-masalah yang telah dijabarkan.
Share:

Tuesday, July 24, 2018

TEORI DEPENDENSI KLASIK


Teori ini merupakan salah satu pembahasan di dalam studi magister yang pernah aku tempuh yang didapatkan di dalam kuliah Teori Pembangunan. Mengapa aku membahas masalah ini hanya untuk sekedar sharing dan menambah postingan di blog ini saja, lumayan kalau ada yang sekedar ingin tahu dan membaca untuk menaikkan jumlah pembaca blog ini hehehe... Sebagai sumber, tulisan ini diangkat dari buku Perubahan Sosial dan Pembangunan oleh Suwarsono dan Alvin Y. So. Jadi, kalau pembaca sekalian mau menemukan tulisan yang lebih jelas langsung aja ke bukunya yaa..

Di dalam buku ini dijelaskan bahwa pendekatan teori ini pertama kali lahir di Amerika Serikat pada awal tahun 1960-an. Teori ini lahir sebagai jawaban atas gagalnya program Komisi Ekonomi PBB untuk melakukan pemerataan pembangunan, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan demokratisasi politik melalui strategi industrialisasi impor. Ketika ekspansi ekonomi hanya berjalan singkat dan pada akhirnya stagnan, banyak muncul masalah pengangguran, inflasi, devaluasi dan penurunan nilai tukar perdagangan yang menjadi masalah bagi negara-negara dunia ketiga. Dapat dikatakan bahwa, berbeda dengan teori-teori lain yang melihat pembangunan melalui kacamata negara-negara maju, teori ini lebih fokus pada persoalan tertinggalnya pembangunan di negara-negara pinggiran seperti Indonesia. Adapun landasan pemikiran lahirnya teori ini berasal dari teori-teori dan pendekatan-pendakatan sebagai berikut:

KEPPBAL (Komisi Ekonomi PBB Amerika Latin)

Dasar pemikiran KEPPBAL memiliki skema yang mengarahkan untuk saling menutupi kebutuhan, seperti halnya negara-negara berkembang memproduksi barang-barang mentah dan diekspor ke negara-negara maju untuk dijadikan barang-barang industri yang dapat digunakan oleh setiap orang. Akan tetapi, menurut Raul Pebrisch seorang ekonom Argentina, skema ini hanya akan menyebabkan ketergantungan ekspor pangan dan bahan mentah serta menurunnya nilai tukar perdagangan dan akumulasi modal dalam negeri. Menurutnya, skema ini perlu dihentikan dan mempercepat proses industrialisasi untuk memproduksi kebutuhan dalam negeri masing-masing negara.

Neo-Marxisme

Teori dependensi ini juga mewarisi pemikiran Neo-Marxisme, terutama setelah berhasilnya revolusi RRC dan Kuba. Revolusi tersebut menyebabkan tumbuhnya pemikiran-pemikiran marxisme di berbagai universitas terutama di Amerika Latin. Hal ini menyebabkan lahirnya generasi-generasi baru yang menyebut diri mereka sebagai "Neo-Marxist".
Foster-Carter menjelaskan bahwa perbedaan antara Neo-Marxisme dengan Marxisme Ortodoks terdapat di dalam berbagai aspek sebagai berikut:

  • Apabila Marxisme Ortodoks memandang imperialisme dari sudut pandang negara-negara maju (core country), maka Neo-Marxisme memfokuskan diri mereka untuk memperhatikan negara-negara pinggiran.
  • Selanjutnya, Marxisme Ortodoks menyatakan perlunya suatu negara untuk melewati tahap revolusi borjuis (masyarakat kelas menengah ke atas) untuk pada akhirnya berubah menjadi revolusi sosialis. Berbeda dengan Neo-Marxisme yang percaya bahwa negara-negara dunia ketiga siap untuk langsung menuju pada tahap revolusi sosialis tanpa melalui tahap revolusi borjuis.
  • Terakhir, apabila revolusi sosialis terjadi Marxisme Ortodoks lebih percaya bahwa revolusi tersebut dilakukan oleh kaum pelaku industri perkotaan sedangkan Neo-Marxisme menginginkan revolusi ini dilakukan oleh petani di pedesaan dan tentara rakyat dalam perang gerilya.

Andre Gunder Frank: Pembangunan dan Keterbelakangan

Menurut Frank, seorang sejarawan ekonomi dan sosiolog Jerman-Amerika, metode pembangunan yang dirumuskan oleh teori-teori modernisasi sangat berorientasi pada negara barat sehingga tidak akan mampu menanggulangi permasalahan pembangunan di negara-negara dunia ketiga atau pinggiran. Menurutnya, negara-negara berkembang ini tidak perlu mengikuti langkah pembangunan negara-negara barat, karena setiap negara memiliki pengalaman sejarah yang berbeda-beda. Frank juga menambahkan bahwa bukan aspek feodalisme dan tradisionalisme yang menyebabkan negara-negara ini sulit untuk berkembang, melainkan penjajahan kolonialisme dan dominasi asing.
Untuk itu, Frank merumuskan sebuah model untuk menguji pembangunan di negara-negara pinggiran ini yang disebut dengan teori hubungan metropolis-satelit. Di dalam teori ini dijelaskan bahwa pembangunan di metropolis nasional dan kota-kota yang lebih kecil di bawahnya dibatasi oleh status kesatelitannya, berbeda dengan perkembangan yang terjadi di metropolis dunia yang tidak memiliki kota satelit sama sekali. Selanjutnya, pembangunan ekonomi di negara satelit akan berkembang pesat ketika dan apabila mereka memiliki hubungan dengan metropolis barat. Apabila metropolis menyelesaikan masalah krisis ekonominya, proses industrialisasi yang telah terjadi akan ditarik dan dieksploitasi kembali dalam hubungan global. Terakhir, daerah yang paling tertinggal saat ini adalah daerah yang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan metropolis di masa lampau.

Dos Santos: Struktur Ketergantungan

Di dalam pernyataannya, Dos Santos menjelaskan bahwa hubungan yang terjadi antara negara maju dan negara pinggiran tidak sederajat karena pembangunan negara maju terjadi atas biaya yang dibebankan kepada negara pinggiran. Keuntungan ekonomi yang diperoleh negara pinggiran berpindah ke negara maju sehingga pasar di dalam negara pinggiran tidak dapat berkembang, menghambat kemampuan teknologi dan memperlemah andalan kebudayaannya. Hal ini pada intinya disebabkan oleh tindakan monopoli negara-negara maju terhadap negara pinggiran. Dalam hal ini, Dos Santos merumuskan tiga bentuk utama ketergantungan negara tertinggal terhadap negara-negara maju yang terdiri dari ketergantungan kolonial, ketergantungan industri keuangan dan ketergantungan teknologi industri.

Amin: Teori Peralihan Kapitalisme Pinggiran

Teori peralihan kapitalisme pinggiran yang diungkapkan oleh Amin terdiri dari berbagai pendapat pokok sebagai berikut; Pertama, secara mendasar peralihan kapitalisme pinggiran berbeda dengan peralihan kapitalisme pusat. Selanjutnya, distorsi atas kegiatan usaha yang mengarah pada kegiatan ekspor merupakan sikap yang menjadi ciri kapitalisme pinggiran serta adanya pertumbuhan yang tidak normal pada sektor tersiernya. Kemudian teori multiplier effects of investment secara mekanis tidak dapat diterapkan di negara pinggiran dan harus ada pemisahan ciri antara struktur negara berkembang dengan struktur negara maju. Selain itu, profil kontradiksi struktural yang telah dibuat terlebih dahulu mengganjal pertumbuhan negara pinggiran. Terakhir, bentuk khusus keadaan keterbelakangan negara pinggiran dipengaruhi oleh karakteristik formasi sosial pada masa prakapitalisnya serta proses integrasi negara pinggiran tersebut dalam sistem ekonomi kapitalis dunia,

Asumsi Dasar Teori Dependensi Klasik

Para penganut aliran dependensi klasik memiliki asumsi-asumsi dasar antara lain; Ketergantungan dapat dilihat dari satu gejala umum dan berlaku bagi seluruh negara tertinggal atau pinggiran, dilihat sebagai kondisi yang disebabkan oleh faktor eksternal, penghambat utama pembangunan tidak didasari pada kurangnya modal, tenaga dan semangat wiraswasta melainkan diluar jangkauan politik ekonomi dalam negeri suatu negara. Selanjutnya, permasalahan ketergantungan ini lebih dilihat sebagai masalah ekonomi yang terjadi akibat aliran keuangan dari negara pinggiran kepada negara-negara maju dan hal ini tidak dapat dipisahkan dari proses polarisasi regional ekonomi global. Terakhir, keadaan ketergantungan suatu negara mutlak merupakan hal yang bertolak belakang dengan proses pembangunan.

Implikasi Kebijakan Teori Dependensi Klasik

Teori dependensi klasik secara filosofis menginginkan adanya peninjauan ulang akan makna "pembangunan". Implikasi besar teori ini adalah menyatakan bahwa pembangunan tidak hanya dipandang sebagai proses industrialisasi, peningkatan hal industri dan peningkatan produksi. Bagi penganut teori ini, pembangunan lebih tepat diartikan sebagai peningkatan standar hidup bagi setiap masyarakat di negara-negara tertinggal dan pinggiran. Dengan kata lain, pembangunan tidak hanya sekedar program kepentingan elit dan masyarakat kota, namun lebih kepada program yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk desa, para pencari kerja, dan berbagai kelas sosial lain yang membutuhkan bantuan. Setiap program yang hanya menguntungkan segelintir masyarakat dan membebani masyarakat mayoritas tidak dapat dikatakan sebagai sebuah program pembangunan yang sebenarnya.

Perbandingan Teori Dependensi Klasik dan Teori Modernisasi

Dapat dikatakan bahwa kedua teori ini memiliki perhatian terhadap persoalan pembangunan negara-negara tertinggal dan berupaya untuk merumuskan kebijakan pembangunan yang lebih baik di masa yang akan datang. Setiap teori ini juga memiliki semangat pemahaman dan pengkajian yang sama, pembahasannya abstrak serta mengembangkan struktur teori yang dwi-kutub.
Perbedaan kedua teori ini ditemukan pada solusi yang ditawarkan terhadap persoalan keterbelakangan negara-negara pinggiran. Teori modernisasi menyarankan untuk lebih mempererat ikatan dengan negara-negara maju melalui bantuan modal, peralihan teknologi dan pertukaran budaya. Sementara itu, teori dependensi klasik justru mengedepankan untuk mengurangi ketergantungan terhadap negara sentral untuk mencapai pembangunan yang mandiri dan dinamis serta mencapai revolusi sosialis.

Lantas bagaimana dengan hasil kajian teori ini terhadap pembangunan negara-negara dunia ketiga? Pembahasan mengenai hal ini dapat dilihat pada halaman berikut.
Share:

Monday, March 13, 2017

Perubahan Dunia Dari Segi Pembangunan

Oke, kali ini kita bakal bahas hal yang sedikit serius. Sekedar bertukar informasi aja dari salah satu mata kuliah studiku yang berhubungan dengan Teori Pembangunan.
Mau tahu ga gimana sejarah perkembangan pembangunan negara-negara yang ada dunia ini?

Gini, dulu negara-negara yang udah maju lebih dulu dari kita nganggap kalau perindustrian tu cuma cocok buat dikembangin di negera mereka aja, karena teknologi-teknologi yang mereka punya udah meningkat pesat. Sedangkan negara-negara berkembang kayak kita, terutama yang punya iklim tropis dianggap cuma pas untuk bercocok tanam dan mengembangkan sektor pertanian. Terus hasil produksi barang-barang mentah yang kita punya dijual ke mereka (negara-negara maju) buat diolah jadi produk yang lebih bermanfaat.

Kalau udah gini yang rugi kita dong, ya nggak sih? Bayangin deh, kita yang punya bahan mentah, terus jual ke mereka dengan harga yang murah untuk mereka olah. Kemudian selesai diolah jadi suatu produk yang kita butuhin, malah dijual ke kita lagi dengan harga yang lebih tinggi, malah naik berkali-kali lipat harganya. Udah kita ga dapat untungnya, malah sumberdaya alam yang kita punya jadi habis. Dan mungkin gara-gara ini juga dulu negara maju makin maju, dan negara kita yang miskin makin sulit untuk berkembang.

Namun semua anggapan itu semakin berubah. Kita negara-negara berkembang sadar kalau mau bergerak maju harus mulai bikin produksi sendiri, biar mandiri dan ga rugi lagi. Nah, dari bukunya Reitsma, H. A. dan J. M. G Kleinpenning yang judulnya The Third World in Perspective dijelasin kalau perubahan pola pikir setiap negara ini sampai jadi kayak sekarang ada empat periode. Ini lebih jelasnya:

Periode Pertama (Tahun 1945-1955)


Karena pada tahun-tahun ini baru aja selesai perang dunia kedua, jadi negara-negara maju sibuk dengan menstabilkan negara mereka masing-masing. Negara-negara yang ikut perang kan banyak yang hancur tuh, jadi mereka fokus ke pembangunan dan normalisasi perekonomian negara mereka dulu. 

Dan apa kalian tau? Pada masa ini juga dunia terpecah jadi tiga bagian.
Iya tiga bagian, negara-negara bagian pertama (first world) tu negara-negara komunis yang dipimpin oleh Rusia. Pengikutnya rame, termasuk China dan Korea Utara, malah Indonesia hampir ikutan kan dulu.
Kemudian ada negara-negara bagian kedua (second world), kalau bagian ini dipimpin oleh musuh besarnya Rusia siapa lagi kalau bukan Amerika. Malah pengikutnya lebih banyak lagi lho, hampir seluruh daratan Eropa termasuk Inggris, Perancis, Belgia, Belanda dan Portugal.
Terus kita Indonesia masuk ke negara bagian mana? Nah, kita masuk ke negara-negara bagian ketiga (third world), negara-negara non-block sebutannya. Kita bareng Afrika, Vietnam, India, Pakistan dan beberapa negara kecil lainnya mengambil kebijakan buat ga ngikutin mereka. Bikin genk sendiri lah istilah gaulnya. Karena kita ga sanggup aja ikutan gaul sama yang gede-gede.

Ini nih peta pembagian tiga bagian dunia biar lebih jelas:
Terus nih, karena kita berada di kumpulan orang-orang lemah. Negara-negara bagian kedua mulai ga sopan, mereka ngeinvasi negara-negara kecil kayak kita buat diambil sumberdayanya. Mereka kan butuh banyak sumberdaya tuh buat pembangunan negara mereka yang hancur akibat perang, makanya kita yang jadi sasaran. Cuma kita belum sanggup ngelawan, kita terlalu lemah dan miskin, malah dengan dicurinya sumberdaya kita ya jadi makin miskin dong. Contohnya kayak waktu orang-orang Belanda balik lagi ke Indonesia pas Jepang menyerah, itu karena mereka belum puas buat ngambil sumberdaya alam kita.
Nih liat negara-negara kecil mana aja yang dijarah sama Amerika cs:

Periode Kedua (Tahun 1955-1965)

Pada periode ini, genknya Rusia ga bisa tinggal diam ngeliat musuhnya enak-enakan dapat sumberdaya dengan gampang dari negara-negara lemah kayak kita. Kalau gini terus-terusan mereka bisa kalah saing dong sama Amerika cs. Jadi genknya Rusia ngebiayaain kita buat ngelawan balik. Udah kayak cerita-cerita disinetron aja kan.

Maka semenjak saat itu banyak negara-negara kayak kita berperang dan merdeka, sehingga terbebas dari era kolonialisme. Contohnya kayak Revolusi Mau Mau (1952) di Kenya, peperangan Dien Bien Phu (1954) di Vietnam, perlawanan dari Indonesia (1946-1949) dan kemerdekaan India, Pakistan, Banglades dan Srilanka dari jajahan Inggris.


Revolusi Mau Mau (1952)
Perang Vietnam (1954)
Kemudian negara-negara yang baru bebas kayak kita dan teman-teman lain gabung ke PBB. Maka disitulah timbul rasa kesetiakawanan antar bangsa. Hubungan antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin semakin membaik dan memutuskan untuk saling membantu sama lain dalam proses pembangunan dunia. Jadi saat ini seluruh dunia udah percaya diri dengan pembangunan, karena mereka saling melakukan kerjasama untuk saling menguntungkan. Ga main jajah-jajahan lagi.


Tuh kan udah salaman.

Periode Ketiga (Tahun 1965-1975)

Tapi jangan senang dulu, pada masa ini mulai timbul keraguan dan ketidakpercayaan antar bangsa-bangsa yang tergabung di PBB. Banyak negara yang ga mampu membangun negara mereka sendiri dari bantuan-bantuan yang diberikan. Jadi yang ngebantu ngerasa lelah dan sia-sia dengan bantuan-bantuan yang mereka kasih.
Salah satu penyebabnya adalah, dulu belum ada standar yang baik dalam sebuah pembangunan. Jadi negara-negara yang mau berkembang ini kebingunan, ga sanggup ngikutin cara-cara yang dicontohkan oleh negara maju. Ibarat kata anak yang baru lulus SD masak mau ngikutin ujian masuk perguruan tinggi, ya pasti gagal lah.
Terus negara-negara kecil ini juga ga bisa mandiri. Banyak mafia-mafia yang bermain di dalamnya, belum lagi pejabat-pejabatnya yang gemar korupsi sampai sekarang. Ya susah lah majunya, butuh waktu lama. Akhirnya negara-negara ini tetap miskin deh, Afrika contohnya.


Periode Keempat (Tahun 1975-1985)

Akhirnya, sampai tahun 1985 ga banyak perubahan yang berarti dari proses pembangunan di dunia ini. Malahan pada masa ini perbedaan antara negara kaya dan negara miskin semakin terasa. Negara-negara miskin yang dibantu dengan pinjaman dari negara-negara maju ga sanggup ngembaliin hutang-hutangnya, sampai bikin ekonomi jadi ga stabil. Sejak 1973 dunia banyak masalah, kayak biaya energi yang meningkat tajam, tingkat inflasi tinggi, pengangguran dimana-mana, stagnasi ekonomi, tingkat suku bunga tinggi dan beban hutang yang meningkat lebih cepat dibanding kemampuan mereka untuk mengembalikannya. Bahkan Indonesia juga ngerasin dampkanya yang hebat, buktinya pada tahun 80-an banyak kerusuhan kan.



Jadi intinya pembangunan itu ga gampang. Prosesnya kompleks, sulit buat dapat strategi pembangunan atau program bantuan yang sesuai. Karena masing-masing negara punya kondisi fisik, sosial, budaya, demografi, politis, ekonomis dan pengalaman historis yang berbeda-beda. Maka semua ahli dari berbagai disiplin ilmu harus terus kerjasama buat nyusun proyek dan strategi pembangunan yang lebih baik. Terutama kayak kita-kita yang bergelut di dunia perencanaan ini, harus serius nanggepin masalah pembangunan.
Terus ini kan baru nyampe 1985, mau tau gimana kelanjutan pembangunan sampe 2017? Nanti deh disambung lagi di lain waktu ya. Yang nulis udah capek mikiran masalah dunia, mau mikirin masalah akhirat pula. Bye:)
Share: