Friday, July 27, 2018

PEMBAHASAN MENDASAR MENGENAI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (SUSTAINABLE DEVELOPMENT)

Pengantar

Tuntutan penerapan kebijakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sudah menjadi perhatian dunia dan setiap negara semenjak lebih dari dua dekade lalu. Peristiwa-peristiwa yang mendasari dasar kebijakan pembangunan berkelanjutan ini di antaranya Brundtland Report (World Commission on Environment and Development, 1987), Earth Summit pada tahun 1992 dan World Summit pada tahun 2002. Lantas apakah sebenarnya yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan tersebut?
Berikut adalah pembahasan singkat mengenai pembangunan berkelanjutan yang diangkat dari buku A Handbook of Sustainable Development yang dirangkum oleh Giles Atkinson, Simon Dietz dan Neumayer.

Sustainable Development: Apa dan Bagaimana Mencapainya

Berdasarkan Brundtland Report (WCED, 1987), sustainable development atau pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Banyak pihak yang telah mengadopsi definisi ini dan memberikan penekanan-penekanan lain yang dikira perlu untuk ditambahkan namun tetap memiliki tujuan yang sama dengan apa yang diharapkan WCED 1987. Semua pengertian pembangunan berkelanjutan yang telah dikembangkan berakhir pada satu perhatian umum mengenai cara bagaimana hasil-hasil dari pembangunan dapat dibagikan antar generasi di masa yang akan datang.
Norton menjelaskan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah suatu usaha antroposentris mengenai kesejahteraan manusia dan bagaimana mempertahankan kesejahteraan itu dari waktu ke waktu. Dengan demikian, prinsip dasar pembangunan berkelanjutan merupakan tanggung jawab antar generasi mengenai praktik pengelolaan sumber daya agar apa yang dilakukan oleh generasi saat ini tidak berdampak buruk pada generasi mendatang. Menurut Giovanni Ruta dan Kirk Hamilton, pembangunan berkelanjutan mengharuskan kita untuk berusaha memahami sumber daya sebagai modal yang tersedia dari berbagai sumber persediaan kekayaan, termasuk sumber daya manusia (seperti orang-orang yang cerdas, sehat dan baik), sumber daya alam (seperti sumber daya energi, tanah dan makhluk hidup) dan sumber daya lingkungan (seperti udara dan air bersih).

Populasi dan Perubahan Teknologi

Di setiap negara, kebijakan pembangunan yang diterapkan harus mempertahankan peluang kesejahteraan hidup manusia pada populasi yang lebih besar di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan bertambahnya jumlah penduduk akan memakan sumber daya alam yang besar sehingga dapat mengancam keberlanjutan itu sendiri. Sesuai dengan pernyataan Geoffrey Mcnicoll yang menganggap bahwa ada akar hubungan mendasar antara penduduk dan pembangunan, terutama mengenai masalah seberapa besar jumlah populasi manusia yang hidup di dunia dapat ditopang ke depannya sedangkan sumber daya alam yang dibutuhkan akan terus berkurang. Dengan kata lain, kebijakan pembangunan yang buruk terhadap kependudukan suatu saat pasti akan memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan.
Perkembangan teknologi saat ini merupakan salah satu konsekuensi pertumbuhan penduduk sehingga perlu adanya inovasi dan penemuan baru terkait keberlanjutan lingkungan. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah membangun kebijakan ke arah Research and Development (R&D) dalam memenuhi berbagai kebutuhan, mendorong para peneliti untuk memahami lebih lanjut dalam proses penemuan ilmu pengetahuan terbaru dan bagaimana suatu inovasi dapat diterapkan di dalam proses produksi dan konsumsi. Oleh karena itu, di dalam pembangunan berkelanjutan ditekankan untuk mengembangkan teknologi jangka panjang dan ramah lingkungan yang sering disebut dengan inovasi teknologi hijau (green technology innovation) demi menghemat penggunaan materi dan energi yang langsung diambil dari sumber daya alam yang terbatas.

Keadilan antar Generasi dan Dimensi Sosial

Aspek lain yang juga perlu dipertimbangkan di dalam pembangunan berkelanjutan adalah keadilan antar generasi seperti distribusi pendapatan, tanggung jawab lingkungan dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan generasi saat ini. Brundtland menegaskan bahwa meskipun terdapat perhatian lebih kepada keberlangsungan hidup generasi yang akan datang, kepedulian terhadap kemiskinan dan masalah-masalah yang dialami oleh generasi sekarang tidak dapat diabaikan begitu saja. Keadilan antar generasi harus dijalankan sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan, membuat aturan yang lebih spesifik agar tidak hanya mencegah tindakan-tindakan penting pada masa sekarang demi menjaga masa depan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masa sekarang melalui tindakan-tindakan yang diperlukan.
Geoffrey Heal dan Bengt Kriström berpendapat bahwa kebijakan pembagian lingkungan antara masa ini dan masa depan merupakan salah satu aspek analisis di dalam pembangunan berkelanjutan. Menurut mereka pembagian lingkungan tersebut dapat dijadikan kerangka kerja dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan lingkungan hidup serta memastikan bahwa kebijakan-kebijakan pembangunan tersebut dapat diterima secara sosial dan menjadi jawaban atas hambatan-hambatan yang berpotensi memberikan dampak buruk bagi lingkungan.
Masalah keadilan lingkungan juga terlihat dari kesenjangan internasional diukur dari bagaimana beban lingkungan didistribusikan secara global. Dalam hal ini, Adger dan Alexandra Winkels menghubungkan pembangunan berkelanjutan dengan kesenjangan kualitas hidup manusia dan kerentanan manusia terhadap lingkungan. Kerentanan yang dimaksud adalah keadaan manusia yang hidup di dalam kemiskinan kronis dan tidak mampu mencapai sumber daya yang dibutuhkan demi meningkatkan kualitas hidup mereka. Untuk itu Adger dan Wingkels berpendapat bahwa analisis kerentanan ini merupakan suatu cara yang bagus untuk digunakan di dalam pembangunan dan meminimalisir tingkat kemiskinan di dunia. Hal ini lebih lanjut dapat dikembangkan sebagai pedoman dalam mendistribusi sumber daya bagi masyarakat dan membantu mereka yang kurang beruntung untuk menemukan sumber mata pencarian yang berkelanjutan.

Pertumbuhan, Konsumsi dan Sumber Daya Alam

Ada hubungan negatif antara limpahan sumber daya alam dengan pertumbuhan ekonomi yang disebut dengan hipotesis kutukan sumber daya alam (natural resource curse hypothesis) atau paradox dengan kondisi kecukupan. Hal ini dianggap paradox karena suatu negara yang dianggap memiliki sumber daya alam yang melimpah seharusnya memiliki keuntungan perekonomian jangka panjang yang berbeda dengan negara yang memiliki sumber daya alam yang sedikit. Richard Auty menjelaskan bahwa banyak negara yang tidak beruntung diharuskan untuk berusaha lebih besar demi menghindari kutukan ini, terutama dari segi politik ekonomi negara yang kaya akan sumber daya alam. Kegagalan mereka lepas dari kutukan ini dapat terlihat dari penetapan kebijakan yang buruk terhadap investor sehingga hanya mendapatkan harga sewa sumber daya yang murah.
Hal lain yang penting untuk diperhatikan di dalam pembahasan ekonomi, sosial dan lingkungan di negara berkembang adalah proses perubahan struktural dimana menurunnya perekonomian sektor primer (pedesaan) karena dikorbankan untuk menaikkan sektor barang dan jasa (kota). Ramon Lopez menggambarkan perbedaan antara perubahan struktural dengan keuntungan positif dimana mengurangi tekanan pada aset alam dan menambah kualitas hidup sehingga perubahan struktural memiliki keuntungan negatif pada akhirnya hanya merubah desa miskin menjadi kota miskin. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan struktural yang terarah untuk membina keberlanjutan di negara-negara berkembang.
Meningkatkan konsumsi merupakan salah satu kebijakan pembangunan yang sangat penting bagi sebuah negara yang tingkat kemiskinannya tersebar luas. Akan tetapi, bertambahnya tingkat konsumsi terkadang memberi dampak buruk terhadap lingkungan seperti emisi karbon dioksida. Oleh karena itu, perlu adanya studi lanjutan yang membahas bagaimana suatu konsumsi dapat diperbaiki menjadi lebih berkelanjutan dengan menggunakan produk-produk yang ramah lingkungan. Menurut Tim Jackson, konsekuensi dari besarnya konsumsi pada pembangunan berkelanjutan tidak terbatas pada dampak terhadap lingkungan, melainkan juga memiliki dampak terhadap keadilan sosial dan kesejahteraan yang lebih luas.

Kemajuan dalam Mengukur Pembangunan Berkelanjutan

Konsumsi, pertumbuhan ekonomi dan dampak buruk bagi lingkungan di dalam pembangunan berkelanjutan merupakan masalah yang kompleks dan sering bertentangan, namun pada intinya adalah bagaimana kita menemukan jalur yang tepat dalam menyikapinya.  Jika komitmen pembuat kebijakan dalam pembangunan berkelanjutan dinilai dari realitas kinerjanya, maka harus ada cara untuk mengukur dan memantau progresnya.  Secara garis besar terdapat dua cara untuk mengukurnya. Pertama dengan cara “Green National Accounting” atau “Resourch and Environmental Accounting”, sebuah pendekatan mengenai kesesuaian atau perhitungan ekonomi nasional yang ada untuk melihat seberapa besar penipisan sumber daya dan penurunan lingkungannya. Kedua, dengan pendekatan pembentukan suatu indikator lingkungan fisik. Secara umum kedua pendekatan tersebut meyakini bahwa suatu pembangunan tidak akan berkelanjutan jika pembuat kebijakan bergantung pada aturan yang sempit dengan indikator pengelolaan ekonomi yang hanya berjangka pendek.
Selain Green National Accounting, terdapat beragam indikator lain untuk mengukur kesejahteraan ekonomi yang berkelanjutan di suatu negara seperti Index of Sustainable Economic Welfare (ISEW) dan Genuine Progress Indicator (GPI) . Clive Hamilton mencatat bahwa penelitian ISEW menemukan bahwa ukuran kesejahteraan meningkat pada tahun 1950-an dan terus menurun di sekitar tahun 1970-an sampai dengan 1980-an. Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan per kapita awalnya naik namun menurun dalam kurun waktu beberapa tahun. Diharapkan pembuat kebijakan dapat memahami indikator-indikator tersebut dan di kemudian hari terus dikembangkan untuk menemukan indikator tunggal yang lebih akurat dan spesifik dalam mengukur kesejahteraan pembangunan berkelanjutan. 

Pembangunan Berkelanjutan pada Skala yang Berbeda

Setiap kebijakan pembangunan daerah, kabupaten/kota, sektor ekonomi dan perusahaan banyak menggunakan istilah berkelanjutan karena sudah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Ketika pembangunan berkelanjutan menjadi suatu tujuan umum, perlu adanya landasan untuk mengarahkan setiap rumah tangga dan perusahaan agar ikut berkontribusi di dalam prosesnya.
Keberlanjutan lokal dan perkotaan tidak hanya menjadi suatu kontribusi pada tujuan sosial secara luas, melainkan juga rencana di dalam kota itu sendiri. Yvonne Rydin berpendapat bahwa masalah lingkungan secara global pada dasarnya berakar dari tindakan dan perilaku masyarakat lokal dalam skala yang sangat kecil. Untuk itu, dalam mengatasi permasalahan lingkungan ini merupakan tanggung jawab bersama pada tiap level masyarakat baik lokal maupun global. Ketika kerjasama internasional pada tingkat global merumuskan masalah-masalah besar seperti perubahan iklim, ada faktor penduduk lokal yang patut untuk diperhitungkan dan perlu diperhatikan. Oleh karena itu pembuat kebijakan di tingkat lokal tentunya akan memberikan gambaran yang lebih baik terhadap masalah lingkungan dibandingkan pengambil keputusan pada tingkat yang lebih tinggi. Maka partisipasi masyarakat lokal perlu diikut sertakan dalam mengambil keputusan terhadap permasalahan lingkungan.

Dimensi Internasional

Faktor penting yang tidak dapat diabaikan dari suatu sumber daya alam adalah bagaimana aset tersebut tidak hanya untuk dibagikan antar generasi, tetapi juga harus dibagi melewati batas nasional. Sumber daya lingkungan dengan akses terbuka dan tidak ada pemiliknya seperti atmosfer dan lautan serta sumber daya yang dimiliki oleh suatu negara yang berdaulat seperti hutan, flora dan fauna harus tetap memberikan layanan ekologis bagi dunia melintasi perbatasan negara yang mengharuskan adanya kerjasama internasional antar negara. Kondisi ini memerlukan pertimbangan keseimbangan distributif untuk membagi keuntungan dari kerjasama antar pihak. Tantangan utamanya adalah untuk menyesuaikan arah persepsi dan insentif sehingga kerjasama dengan kesepakatan bersama dapat dicapai dalam menghadapi persaingan kepentingan domestik dan internasional.

Penutup

Hampir tiga dekade setelah diterbitkannya Brundtland Report (WCED, 1987) yang mengawali perdebatan mengenai pembangunan berkelanjutan, tentang bagaimana mengukur keberhasilannya, bagaimana untuk menemukan penerapan dalam jangka waktu yang panjang, apa yang telah dicapai dan apa yang tantangan terbentang di depan. Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak lagi yang perlu untuk dipelajari dan diteliti tentang pembangunan berkelanjutan menjadi suatu bagian dari bagian kehidupan yang perlu untuk terus dikembangkan penerapannya.
Share:

0 komentar:

Post a Comment