Wednesday, July 25, 2018

HASIL KAJIAN TEORI DEPENDENSI KLASIK

Nah, setelah sedikit memahami mengenai teori dependensi klasik, akan lebih lengkap rasanya apabila kita membahas bagaimana hasil kajian teori ini di dalam perkembangan negara-negara dunia ketiga. Tulisan ini juga merupakan rangkuman yang diambil dari buku Perubahan Sosial dan Pembangunan yang ditulis oleh Suwarsono dan Alvin Y. So. Mereka melakukan kajian terhadap teori dependensi klasik untuk memberikan gambaran mengenai buruknya dampak kolonialisme sehingga mengakibatkan tumbuhnya ketergantungan negara-negara pinggiran terhadap negara-negara maju. Adapun beberapa kajian yang mewakili pemikiran teori dependensi klasik ini di antaranya adalah penelitian Paul Baran mengenai kolonialisme di India, tulisan Martin Hart-Landsberg mengenai imperialisme baru di Asia serta pemikiran Sritua Arief dan Adi Sasono tentang ketergantungan dan keterbelakangan ekonomi di Indonesia yang lebih jelasnya dibahas sebagai berikut.

Paul Baran: Kolonialisme di India

Pada abad ke-18 India merupakan salah satu negara maju di dunia, baik dari segi ekonomi, perdagangan maupun industri. Hadirnya praktik kolonialisme yang dilakukan Inggris menyebabkan mereka menjadi negara yang terbelakang. Proses kemunduran ini terjadi akibat dari kekayaan India yang dirampas melalui pemindahan kekayaan India ke Inggris dan memberlakukan kebijakan de-industrialisasi India. Selain itu, Inggris juga menerapkan kebijakan-kebijakan yang menyebabkan India semakin terpuruk seperti halnya memaksa India untuk menanam dan menghasilkan barang mentah yang dibutuhkan Inggris, dengan kata lain industri India mengabdi sepenuhnya untuk kepentingan Inggris.
Tekanan di bidang ekonomi juga terlihat dari kebijakan inggris untuk menghancurkan sektor agraria negara India, mencegah masyarakat meningkatkan kualitas hidup mereka demi mengikat petani India untuk tetap miskin dan terperangkap dalam keadaan tersebut. Sementara itu, dari segi sosial Inggris membentuk rekayasa sosial yang menyebabkan masyarakat India secara sukarela membantu terwujudnya kepentingan Inggris dan menjadikan ekonomi pedesaan sebagai ekonomi parasit. Untuk mewujudkan dominasi politik, pemerintah Inggris merumuskan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk membuat masyarakat tetap berpendidikan rendah dan terbelakang.
Setelah segala situasi terlaksana sesuai dengan rencana, pemerintah kolonial Inggris secara bertahap menyerahkan sebagian kekuasaan mereka kepada penduduk lokal yang dianggap loyal kepada Inggris dalam menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Kekuasaan yang diberikan kepada pribumi tersebut diharapkan akan memberi dampak keamanan dan kestabilan di setiap desa yang mereka kuasai. Dapat dilihat bahwa secara menyeluruh, politik dan ekonomi India selama masa penjajahan mengalami proses perubahan struktur yang sangat kompleks sehingga pemerintah secara formal tidak dapat menghilangkan pengaruh-pengaruh peninggalan kolonialisme ini. Bahkan setelah kemerdekaan struktur ketergantungan ini masih terlihat pada masyarakat India yang paling utama dari segi bahasa Inggris yang menjadi bahasa kedua masyarakat India.

Martin Hart-Landsberg: Tumbuhnya Imperialisme di Asia Timur

Kebijakan industrialisasi yang memiliki orientasi ekspor (OE) di Korea, Singapura, Taiwan dan Hongkong pada masa itu merupakan bentuk dominasi baru imperialisme yang menyebabkan negara-negara dunia ketiga menjadi negara industri yang sangat tergantung dengan negara-negara maju. Dominasi negara-negara asing pasca PDII tersebut yang menyebabkan pembangunan di negara-negara pinggiran terhambat dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Pertama, lemahnya landasan industri di negara dunia ketiga sehingga terpaksa untuk menggunakan devisa yang lebih besar demi mengimpor barang konsumsi. Kemudian, tingginya kebutuhan devisa tersebut menyebabkan negara berkembang untuk mengandalkan dana dari ekspor barang mentah seperti gula, kopi, karet, rotan dan teh yang mudah terpengaruh oleh perubahan harga. Terakhir, kurangnya kemampuan dalam mengumpulkan devisa menjadikan negara berkembang terjebak di dalam lilitan hutang dan bergantung dengan luar negeri.
Untuk menanggulangi besarnya kebutuhan negara-negara berkembang ini terhadap perolehan devisa melalui aktivitas ekspor produk primer, maka dilakukan strategi industrialisasi impor (ISI) dengan harapan agar negara lepas dari ketergantungan ekspor. Namun, pada pelaksanaannya strategi ini mengalami banyak kendala seperti tidak tersedianya pasar dalam negeri, keterbatasan modal dan teknologi serta terjadinya percepatan impor modal asing dan teknologi sehingga menyebabkan produk dalam negeri kalah bersaing. Sementara itu, arus modal besar yang diikuti besarnya jumlah laba yang dikembalikan ke negara pemilik modal dan teknologi mengakibatkan ketimpangan neraca perdagangan dan berlanjut kepada beban hutang yang besar. Oleh karena itu, strategi ini dinyatakan gagal.
Setelah ISI gagal untuk diterapkan, selanjutnya dirumuskan strategi baru yang disebut dengan industrialisasi orientasi ekspor (IOE). Strategi IOE terletak pada kebijakan subkontrak internasional yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan transnasional dengan upaya untuk menguasai pasar di negara-negara maju melalui kerjasama dengan berbagai perusahaan di negara-negara dunia ketiga. Kebijakan subkontrak internasional ini tumbuh disebabkan oleh adanya pasar yang semakin luas, biaya produksi yang terus meningkat, penemuan-penemuan teknologi terbaru dalam negeri, perolehan laba yang tinggi serta adanya negara-negara yang tepat untuk memegang tanggung jawab usaha subkontrak.
Landsberg berpendapat bahwa IEO merupakan salah satu bentuk dominasi modal internasional baru dan bukan model pembangunan yang tepat untuk diterapkan pada proses pembangunan negara-negara dunia ketiga. Meskipun kenyataannya IEO mendorong tumbuhnya industri dan lapangan kerja di negara-negara berkembang, strategi dianggap tidak akan mampu mendorong terjadinya akumulasi modal dan pembangunan secara mandiri. Selain itu, persoalan ekonomi negara sentral dan tatanan ekonomi kapitalis akan menghambat keberhasilan strategi pembangunan yang berorientasi pada pasar ekstrim dan nantinya akan menyebabkan kemiskinan yang lebih parah pada pekerja dan petani di negara-negara berkembang atau dunia ketiga.

Sritua Arief dan Adi Sasono: Ketergantungan dan Keterbelakangan di Indonesia

Ketergantungan dan keterbelakangan Indonesia ditinjau pada periode penjajahan Kolonial Belanda dan setelah Indonesia memegang kemerdekaan tepatnya pada masa orde baru. Menurut Arief dan Sasono, sistem tanam paksa pada masa penjajahan merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya ketergantungan dan keterbelakangan di Indonesia. Pada masa eksploitasi masyarakat ini telah terjalin aliansi antara pemerintah kolonial Belanda dengan penguasa-penguasa feodal di Indonesia. 
Sementara itu, pembangunan perekonomian pada masa orde baru menurut Arief dan Sasono dapat diamati berdasarkan lima tolok ukur. Pertama, sifat pertumbuhan ekonomi yang memperbesar jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Kedua, penyerapan tenaga kerja yang semakin terhambat karena adanya mekanisasi pada sektor pertanian dan teknologi padat modal pada sektor industri sehingga jumlah pengangguran semakin besar. Ketiga, proses industrialisasi yang memiliki ketergantungan terhadap modal dan energi. Keempat, pembiayaan pembangunan yang bergantung pada modal asing untuk melakukan pembangunan ekonomi dan model industrialisasi. Terakhir, belum tercapainya swasembada pangan hingga akhir tahun 1970-an yang menyebabkan tingginya persentase impor makanan pokok berupa beras. Hal-hal ini yang membuktikan bahwa ketergantungan dan keterbelakangan sedang berlangsung di Indonesia.

Kekuatan Teori Dependensi Klasik

Ketergantungan dan keterbelakangan Indonesia merupakan gambaran khas karakteristik teori dependensi klasik dalam menguji masalah pembangunan negara-negara dunia ketiga. Kekuatan teori dependensi klasik sendiri terlihat dari bagaimana hal ini mampu mengarahkan pola pikir peneliti, perencana kebijakan serta pemangku kebijakan untuk mengikuti tesis-tesis yang diajukan peneliti. Berdasarkan tiga kajian kasus ketergantungan yang berbeda memberikan asumsi yang sama bahwa ketergantungan pembangunan yang terjadi di negara-negara tersebut disebabkan oleh faktor luar yang tidak berada di dalam jangkauan kendali mereka hingga pada akhirnya berakibat pada keterbelakangan pembangunan ekonomi di setiap negara berkembang.

Kritik Terhadap Teori Dependensi Klasik

Kritik-kritik terhadap teori dependensi klasik muncul sejak tahun 1970-an berawal dari tidak puasnya pengkritik terhadap tiga aspek teori dependensi klasik. Pertama, metode pengkajian teori ini hanya memperhatikan masalah-masalah retorika, penjelasan deduktif yang menganggap persoalan ketergantungan di negara-negara dunia ketiga yang dianggap sama dan mengabaikan variasi tingkat nasional. Kedua, pernyataan teori dependensi klasik yang menjadikan faktor eksternal sebagai sumber masalah ditentang oleh penganut paham neo-marxisme, mereka menganggap teori ini mengabaikan dinamika internal seperti kelas sosial dan negara. Terakhir, teori dependensi klasik ini tidak menguraikan upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh negara-negara dunia ketiga terlepas dari masalah-masalah yang telah dijabarkan.
Share:

0 komentar:

Post a Comment